Membaca Sejarah Indramayu (1)

Beberapa hari terakhir saya membaca buku Sisi Gelap Sejarah Indramayu karya Supali Kasim, salah seorang budayawan dari Indramayu. Secara umum buku tersebut adalah sebuah kritik atas 2 buku tentang sejarah Indramayu yang sudah terbit sebelumnya yakni Sejarah Indramayu karya H.A. Dasuki dan Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari karya H.R. Sutadji. Buku pertama terbit pada tahun 1977 sedang buku kedua pada tahun 2003. Buku Sejarah Indramayu adalah dasar bagi penetapan hari lahirnya Indramayu, 7 Oktober 1527. Menurut Supali kedua buku tersebut patut untuk ditimbang kembali keakuratannya sebagai buku sejarah mengingat keduanya hanya bersumber dari Babad Dermayon (Babad Carbon 2) yang ditulis pada tahun 1900, sementara babad dikatagorikan sebagai sumber sekunder. Apakah layak kedua buku tersebut diakui sebagai buku sejarah mengingat keduanya hanya menyajikan secara mentah-mentah data yang didapat dari babad tanpa melengkapinya dengan data dari sumber yang lain, menyajikannya begitu saja tanpa melakukan proses kritik dan interpretasi. Babad yang bersumber dari tradisi lisan memang bisa digunakan sebagai sumber sejarah setelah melalui proses pembacaan yang ketat. Dan jika hendak digunakan babad harus dibersihkan terlebih dahulu dari bagian-bagian yang mengandung sifat-sifat folklor. Dengan kata lain membersihkan unsur fiksinya. Proses inilah yang dinilai oleh Supali tidak dilakukan dalam kedua buku di atas sehingga kedua buku tersebut jatuh sebagai buku fiksi-sejarah atau fiksi berlatar sejarah.

Lepas dari tujuan buku Sisi Gelap Sejarah Indramayu ini sebagai sebuah kritik dan ajakan untuk menelusuri kembali sejarah Indramayu dengan hati-hati, buku ini menyajikan data dan informasi yang menarik tentang masa lalu Indramayu. Supali menghadirkan banyak data di luar Babad Dermayon yang menarik untuk disimak dan mungkin akan menjelaskan lapisan-lapisan kultur yang menyusun Indramayu hari ini.

Indramayu di Antara Sunda dan Jawa

Supali membuka bukunya dengan penjelasan singkat tentang kondisi sosio-kultural Indramayu yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”.  Meski berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni oleh suku Sunda dan berbahasa Sunda, Indramayu (dan juga Cirebon) tidak bisa dimasukkan ke dalam wilayah kebudayaan tersebut karena memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) sebagaimana yang diakui selama ini. Meski demikian dalam perkembangannya selanjutnya Indramayu pun tidak serupa dengan realitas sosio-kultural Jawa Tengah. Akar sejarah dari Jawa Tengah ini dijelaskan lewat Wiralodra—tokoh pendiri Indramayu versi Babad Dermayon—yang berasal dari Bagelen (Purworejo).

Beberapa catatan terdahulu juga menunjukkan bahwa Indramayu memang berada di antara Sunda dan Jawa. “Di antara” yang saya maksud dalam tulisan ini adalah berada di dalam irisan kedua kebudayaan besar tersebut—bukan sama sekali asing dan lepas dari keduanya. Pada suatu waktu Indramayu pernah berada di bawah kekuasaan Sunda (Pajajaran) dan kemudian berada di dalam kekuasaan Jawa (Demak dan Mataram). Dan selanjutnya dilepaskan oleh Mataram ke tangan VOC.

Bagian dari Sunda

Dalam bukunya Summa Oriental (1513-1515) Tome Pires seorang Portugis yang pernah berkunjung ke Chi Manuk (Indramayu) menyebutkan bahwa pelabuhan Cimanuk sudah ramai dikunjungi perahu-perahu niaga.

Cimanuk: Pelabuhan ini adalah pelabuhan keenam. Jung-jung tidak dapat berlabuh di sini, kecuali di lepas pantai; demikian kata orang, sedangkan orang lain mengatakan ‘bisa’. Banyak orang Islam tinggal di sini. Kepala Pelabuhan yang menjadi milik raja Sunda itu ialah seorang penyembah berhala. Di sinilah ujung kerajaan (Sunda). Cimanuk memiliki perdagangan yang baik. (Orang) Jawa pun berdagang dengannya. Cimanuk sebuah kota yang besar dan bagus.

Menilik angka tahunnya ini adalah masa sebelum Wiralodra datang dan mendirikan Indramayu pada tahun 1527 (tafsiran Dasuki dari candrasengkala/sandi tahun Babad Dermayon) atau tahun 1525 (tafsiran H.R. Sutadji).

Dalam Babad Galuh yang menceritakan Ciung Wanara (yang merupakan babad versi Pajajaran atau Sunda) beberapa nama tempat yang sekarang merupakan bagian dari Indramayu telah pula disebutkan: Indramayu, Junti, Kandanghaur, dan Anjatan. Beberapa naskah lain dari Pajajaran juga menyebutkan hal serupa. Misalnya tentang Kean Santang yang pernah menetap di Kandanghaur.

Selanjutnya dalam bukunya yang sama Tome Pires juga menegaskan bahwa Indramayu adalah bagian dari Sunda (Cumda) yang beribukota di Dayeuh (Dayo)—yang dimaksud adalah Pakuan Pajajaran di Batutulis Bogor.

Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi separo Pula Jawa. Orang lain yang dianggap kompeten berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi…

Ujungnya adalah Cimanuk. Katanya, pada awal mula Tuhan memisahkan Pulau Jawa dari Pulau Sunda dan Pulau Sunda dari Pulau Jawa dengan sungai tersebut. Di sepanjang tepian sungai itu dari hulu ke hilir tumbuh pohon-pohon. Katanya, pepohonan pada tepi yang satu condong ke negeri seberang dengan cabang-cabang sampai ke tanah. Pohon-pohon ini besar, tinggi serta bagus.

Buku Da Asia, Decada IV karya Barros (meninggal pada tahun 1570, buku diedit oleh Joao Baptista Lavanha pada tahun 1615) menampilkan peta: Sunda dipisahkan dari Jawa oleh suatu sungai besar, yakni Chiamo (Cimanuk). Hal ini menguatkan catatan Pires di atas.

Catatan-catatan dari orang Portugis ini juga menunjukkan adanya hubungan Pajajaran dengan Portugis. Jatuhnya pusat kerajaan Hindu di Jawa Timur (Majapahit) oleh serangan Demak membuat Pajajaran khawatir sehingga membangun hubungan dengan Portugis yang berkuasa di Malaka sejak 1511. Hal itu untuk berjaga-jaga jika kemudian Demak menyerang Pajajaran. Pada waktu itu Pajajaran juga segera membatasi masuknya pedagang-pedagang Islam ke wilayahnya. Hal ini pada akhirnya justru mempercepat keinginan Demak untuk menguasai Pajajaran. Demak melalui Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527).  Namun sebelum seluruh Pajajaran jatuh Demak keburu melemah oleh meninggalnya Sultan Trenggana. Perebutan kekuasaan yang berlarut-larut di Demak membuat Banten memperbesar dirinya. Sultan Hasanudin, putra Sunan Gunung Jati, mampu melebarkan wilayah meliputi Banten, Jayakarta (Sunda Kelapa) hingga Lampung dan Bengkulu. Sementara itu Sunan Gunung Jati berpindah dan menetap di Cirebon. Dan selanjutnya Banten berhasil menundukkan Pajajaran (1597) dengan demikian berakhirlah kekuasaan Hindu di Pulau Jawa. Blambangan benteng kerajaan Hindu terakhir di Jawa Timur telah jatuh terlebih dahulu (1546).

Bagian dari Demak

Babad Dermayu menyebutkan bahwa Indramayu berada dalam pusaran ketegangan tersebut di atas—berakhirnya era kerajaan Hindu dan lahirlah kejayaan Islam. Bahkan digambarkan Indramayu baru saja didirikan (1527). Saat Kerajaan Demak berjaya Indramayu berada di dalam kekuasaannya. Lalu ketika Kerajaan Demak runtuh (1546) Indramayu berada di dalam kekuasaan Kesultanan Cirebon.

Dalam Babad Dermayu diceritakan bahwa Wiralodra berasal dari Banyuurip, Bagelen. Ia mendapat wangsit di Gunung Sumbing untuk mencari lembah sungai Cimanuk. Di sana ia diperintahkan untuk membangun sebuah negeri. Versi yang lain mengungkapkan bahwa Wiralodra adalah mata-mata Demak yang mendapat tugas dari Raden Patah untuk menguasai Pelabuhan Cimanuk. Dibuktikan dengan kepulangan Wiralodra untuk membantu Demak menumpas pemberontakan Banyubiru.

Bagian dari Cirebon

Indramayu berada dalam kekuasaan Cirebon dimunculkan oleh beberapa cerita rakyat dan Babad. Misalnya pada “Peristiwa Kali Kamal” dan bab yang berjudul Prabu Indrawijaya/Arya Wiralodra memeluk agama Islam sambil menyerahkan daerahnya, Indramayu, kepada Cirebon pada tahun 1528.

Beberapa tafsir mengatakan bahwa penyerahan kekuasaan tersebut sebagai bentuk kesetiaan makmum kepada imam (Sunan Gunung Jati), bukan antara si terjajah dengan sang penjajah.

Bagian dari Mataram

Versi yang lain menyatakan bahwa Wiralodra adalah prajurit Mataram yang ditugaskan untuk membuka lahan di Indramayu sebagai persiapan untuk menyerang Batavia.

Dalam buku Sejarah Indramayu Dasuki menuliskan:

Pada tahun 1630 Sultan Agung mentransmigrasikan penduduk dari Mataram dan sekitarnya untuk menetap di Karawang, Ukur (Bandung), Sumedang, Ciasem, Cilamaya, dll. Diperintahkan untuk membuka tanah pertanian dan akan dijadikan persediaan bekal tentara menyerang Batavia. Tahun 1641 Mataram memperbanyak transmigran, yaitu ke Indramayu dengan tujuan yang sama. Indramayu pun mulai banyak sawah

Dalam buku Sundakala karya Ayatrohaedi yang diterbitkan tahun 2005 disebutkan:

Pasukan Mataram yang berasal dari Bagelen di bawah pimpinan Senapati Wiralodra, setelah penyerangan itu tidak kembali ke Mataram. Wiralodra ditugasi untuk menjaga daerah perbatasan sebelah barat kerajaan Cirebon yang kian terdesak oleh Belanda. Demikianlah, Belanda pada waktu itu dikepung oleh pasukan Banten di sebelah barat, sedangkan di sepanjang Ci Manuk dan Indramayu, mereka dijaga oleh pasukan Cirebon dan Mataram. Wiralodra kemudian menjadi Adipati Dermayu dan dianggap sebagai cikal-bakal Indramayu.

Hal ini diperkuat lagi oleh buku Kerajaan Cerbon 1479-1809 karya R.H. Unang Sunardjo (1983) dan Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak tulisan Budiono (2008).

Mataram menguasai Jawa barat selama 57 tahun (1620-1677). Kemudian secara bertahap diserahkan kepada VOC seiring dengan kemunduran Mataram paska Sultan Agung. Akan tetapi Indramyu bukan bagian dari wilayah yang diserahkan kepada VOC.

Keberadaan Indramayu dari Surat-surat Belanda

Keberadaan Indramayu bisa juga ditilik dari surat-surat VOC. Memang terjadi banyak ketidakcocokan tahun dengan Babad Dermayu, tetapi keduanya sama-sama menyebutkan tokoh Wiralodra meski dalam kurun waktu yang berbeda. Tapi hal ini sangat dimungkinkan mengingat nama penguasa di Jawa selalu diwariskan kepada anak keturunannya. Menurut Dasuki Dinasti Wiralodra berkuasa selama 7 turunan.

Berikut kutipan dari beberapa surat VOC yang bersumber dari Dagh-register VOC dan Majalah De Preanger:

Untuk menagih piutang milik seorang perempuan Belanda, janda bekas istri warganegara mendiang Thomas de Liefde, sedikit sekali kemungkinannya. Dua orang di antara penunggaknya adalah Raden Wukir dan Kiai Wiralodra, keduanya miskin. Namun demikian mereka berjanji akan melunasi hutangnya dalam waktu dekat.

(Dagh-register Kompeni tahun 1663)

13-12-1632. Gubernur VOC telah diberitahu oleh cabang VOC di Banten, bahwa Susuhunan Mataram di sekitar sungai Indramayu sedang menimbun bahan perbekalan, agar menjelang permulaan musim kemarau mendatang dari sana dengan tentaranya sebanyak 80-100 ribu orang akan menuju ke mari

11-5-1636. Telah datang kepada Kepala Kehakiman Urusan Indramayu surat kiriman dari seorang Cina bernama Kong San beserta beras sebanyak 4 ton dan sejumlah garam, Cina tersebut beberapa hari lagi akan menjual dagangannya, dan dengan perahu tinggangnya akan berlayar ke Banten untuk kepentingan persahabatan dengan VOC, akan tetapi setibanya dekat pulau tertentu dia dibajak oleh pelaut-pelaut dari Indramayu dan dibawa ke sana.

November 1657. Selanjutnya diperoleh berita dari Lurah Patra bahwa antara Indramayu dan Cilamaya baru-baru ini telah terjadi peristiwa bahwa di antara 17 a 18 orang yang dikirim oleh Wirajaya ke Karawang, telah dibunuh 5 a 6 orang oleh segerombol orang-orang Banten yang telah mendarat di sana. Itulah sebabnya maka Susuhunan mengirim surat kepada Kompeni yang isinya: belum berapa lama orang-orang Banten di Karawang telah membunuh sebagian dari rakyatku dan merampas perahunya.

27-11-1677. Tanggal 23 bulan ini ada seorang dokter ahli bedah berkebangsaan Belanda telah jatuh dari geladak kapal, hal mana dilaporkan kepada kompeni oleh Kyai Wira Saba, yang juga melaporkan bahwa Kiai Rangga Gempol (yang menamakan dirinya Pangeran Sumedang) sekarang berada di Ciprage beserta rakyatnya sebanyak 2000 orang dan mengakui bahwa seluruh tanah dari mulai Indramayu sampai kepada perbatasan Banten adalah miliknya sendiri, dengan maksud buat menjabel Kerawang setelah ditinggalkan Kompeni. Untuk sementara ia bertempat tinggal di Cirebon.

Pada masa-masa tersebut (Mataram) terlihat bahwa Indramayu menjadi perlintasan ekonomi dan militer dari beberapa kepentingan kerajaan lain maupun asing. Hal lain yang menarik untuk digarisbawahi adalah Indramayu menjadi tujuan transmigran lokal asal Jawa (Bagelen dan Banyumas) atas perintah Sultan Agung pada tahun 1630. Naskah Wangsakerta malah menyebutkan bahwa Wiralodra adalah salah satu dari tranmigran tersebut. Hal ini tentu saja berselisih dengan Babad Dermayu yang menyatakan Wiralodra mendirikan Indramayu pada tahun 1527 (satu abad sebelumnya)

Indramayu Sudah Ada Sejak Jaman Kerajaan Tarumanegara?

Dalam bukunya Supali memunculkan satu sumber yang menarik yakni Naskah Wangsakerta. Suatu masa pada abad-17 di Keraton Cirebon berkumpul sekitar 70 para ahli sejarah dari keraton-keraton yang ada di Nusantara. Mereka mengikuti kegiatan gotrasawala, semacam lokakarya penelusuran dan penulisan sejarah daerah-daerah di Nusantara. Salah satu yang hadir adalah utusan dari Dermayu. Utusan tersebut masuk dalam sangga (kelompok) 2 bersama ahli sejarah dari Mataram, Semarang, Wirasaba, Kediri, Lasem, Mojoagung dan Bonang. Proyek tersebut dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dan menghasilkan 1.700 naskah yang disusun menjadi buku dalam waktu 21 tahun (1677-1698).

Dalam naskah yang kemudian dikenal sebagai Naskah Wangsakerta tersebut terdapat tulisan tentang Kerajaan Manukrawa yang diperkirakan berada di sekitar sungai Cimanuk pada abad ke-5. Peran Indramayu/Manukrawa dalam kisah tersebut dimunculkan lewat Komandan pasukan Kerajaan Manukrawa yang bernama Welutbraja yang ikut serta memadamkan pemberontakan Cakrawarman di Kerajaan Tarumanegara.

Dalam naskah tersebut berita tentang Cimanuk kembali muncul pada abad ke-8. Dikisahkan terjadi persaingan antara Wong Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong Wetan (Kediri) yang menyebabkan perniagaan Cina terganggu. Dan kemudian kendali lautan pun dibagi mejadi dua. Disebutkan sebelah barat Cimanuk sebagai wilayah Sriwijaya dan sebelah barat Cimanuk termasuk wilayah Kediri. Kisah ini mungkin akan menarik jika dibandingkan dengan prasasti-prasasti tinggalan Mataram Hindu. Hubungan antara Sriwijaya dengan Mataram Hindu memang sudah ada pada abad tersebut. Bahkan raja-raja Mataram Hindu disebutkan sebagai orang-orang Sriwijaya yang menyingkir ke tanah Jawa (Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailindra). Kehadiran Kediri memang patut dipertanyakan pada masa itu atau bisa dilatakan tidak tepat jika disandingkan dengan sumber-sumber sejarah yang lain.

Lepas dari akurat atau tidaknya naskah tersebut, sebagian besar ahli sejarah Indonesia menolak menganggap naskah tersebut sebagai sumber sejarah yang resmi, kisah tersebut setidaknya memunculkan bahwa denyut kehidupan di sekitar sungai Cimanuk telah lama dimulai.

Leave a comment